Monday, November 2, 2015

SEJARAH HUKUM INDONESIA


Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Sumbangan ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Berkaitan dengan masalah ini Soedjono, D., menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. (Sudarsono, hal. 261).
Demikian juga hal yang senada diungkapkan oleh Menteri Kehakiman dalam pidato sambutan dan pengarahan pada simposium Sejarah Hukum (Jakarta 1-3 April 1975) dimana dinyatakan bahwa :
“Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita” (Soerjono Soekanto hal, 9).
Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain dari pada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.
Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perubahan dan stabilitas.
Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.
Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417).
SEJARAH HUKUM INDONESIA
Berbicara sejarah hukum di Indonesia sama saja kita berbicara tentang sejarah Indonesia itu sendiri, karena hukum di Indonesia merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Kalau boleh kita petakan, perjalanan hukum di Indonesia dapat kita bagi menjadi 3 masa yaitu:
  1. Masa sebelum penjajahan (pra kolonial)
Pada masa ini hukum lebih di dominasi oleh aturan adat atau kebiasaan yang sudah berkembang di masyarakat.
  1. Masa kolonial
Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama 250 tahun lebih tentunya pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan sejarah hukum di Indonesia. Bahkan produk hukum di Indonesia banyak sekali mereduksi dari produk hukum yang dibikin Belanda. Sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari “Papal Revolution” hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dimasa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Dimasa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. Ketiga golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang dipersamakan dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang dikemukakan Daniel S. Lev, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema yang paling membingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut Soetandyo, penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.
  1. 3.     Masa pasca kolonial
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.7 Menurut Lev, para advokat Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu agaknya terjadi karena berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula rofesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.

Kekuatan moral hukum progresif sebagai das Sollen
Membangun kekuatan hukum yang bermoral dan berkeadilan untuk mematahkan kekuatan pro status quo sungguh merupakan upaya yang tidak ringan. Upaya tersebut tentu saja harus dimulai dari bawah dan tidak dari atas. Dari bawah maknanya, proses pendidikan hukum yang selama ini berlangsung di Indonesia hendaknya berbenah dan mengubah haluan. Fakultas-fakultas hukum tidak sekedar mendidik mahasiswa hukum yang akan menjadi calon-calon tukang menerapkan hukum positif yang kerjanya seperti robot yang tidak bernurani, melainkan harus mendidik manusia-manusia yang memahami hukum sambil menata dan mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka menegakkan hukum yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang paling dalam. Proses tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan pendidikan hukum di tanah air kita, yang mengarah pada perubahan sikap seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus dilakukan sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau “teoritis ilmiah”39 namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positif tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), sehingga para mahasiswa yang akan menjadi lulusan fakultas hukum diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional, dan juga cerdas spiritualnya. Ketiga faktor yang amat penting dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum, makainsya Allah kekuatan moral hukum progresif tidak sekedar menjadi harapan (das sollen) melainkan akan terwujud dalam kenyataan (das sein) di masa datang.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.
1. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang.
2. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
3. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu, penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat(substantial justice). Akibatnya, penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat.
4. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia
5. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua nonterhadap mereka calon-calon sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

RINGKASAN KULIAH HUKUM PERDATA


Hukum perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.

Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPerdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUHPerdata KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
  1. Buku 1 tentang Orang / Personrecht
  2. Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht
  3. Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht
  4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs
    Hukum perdata Indonesia
    Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

    Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.

    Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:

    • Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

    1. Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

    • Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
    • Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

    DEFINISI HUKUM PERDATA
    Definisi Hukum Perdata menurut para ahli :

    1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan
    Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
    2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.
    Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.
    3. Sudikno Mertokusumo
    Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yag lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan masyarakat.
    4. Prof. R. Soebekti, S.H.
    Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.

    Definisi secara umum :
    Suatu peraturan hukum yang mengatur orang / badan hukum yang satu dengan orang / badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

    Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata :

    1. norma peraturan
    2. sanksi
    3. mengikat / dapat dipaksakan

    AZAS-AZAS HUKUM PERDATA
    1. Azas Individualitas
    2. Azas Kebabasan Berkontrak
    3. Azas Monogami ( dalam hukum perkawinan )

    Azas Individualitas
    Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dsb.
    Batasan terhadap azas individualitas :
    1. Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak milik )
    2. Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga
    3. Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain

      Azas Kebebasan Berkontrak
      Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam UU maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.

      Azas Monogami
      Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan memunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP.

      PERKEMBANGAN KUHPerdata DI INDONESIA
1. Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804. 2. Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon.
3. Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.
4. KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu buku "Burgerlijk Wetboek" (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848.
5. Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk KUHPerdata) masih tetap berlaku selama belum ada peraturan yang baru menurut UUD ini.
6. Perubahan yang terjadi pada KUHPerdata Indonesia :
7. Tahun 1960 : UU No.5/1960 mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengatur tentang bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya kecuali hypotek
8. Tahun 1963 : Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 5 September 1963, dengan mencabut pasal-pasal tertentu dari BW yaitu : pasal 108, 824 (2), 1238, 1460, 1579, 1603 x (1),(2) dan 1682.
9. Tahun 1974 : UU No.1/1974, mencabut ketentuan pasal 108 tentang kedudukan wanita yang menyatakan wanita tidak cakap bertindak.

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
A. Menurut Ilmu Pengetahuan
Buku I : Hukum Perorangan (Personenrecht)
Buku II : Hukum Keluarga (Familierecht)
Buku III : Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht)
Buku IV : Hukum Waris (Erfrecht)
B. Menurut KUHPerdata
Buku I : Perihal Orang (Van Personen)
Buku II : Perihal Benda (Van Zaken)
Buku III : Perihal Perikatan (Van Verbintennisen)
Buku IV : Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring)

HUKUM PERORANGAN
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban.
Subjek hukum terdiri atas :
  1. Manusia / Perorangan ( Natuurlijk Persoon )
  2. Badan Hukum ( Rechtpersoon )
    Status manusia sebagai subjek hukum merupakan kodrat / bawaan dari lahir, sedangkan status badan hukum sebagai subjek hukum ada karena pemberian oleh hukum.
    Manusia dan badan hukum sama-sama manyandang hak dan kewajiban. Hal-hal yang membatasi kewenangan hukum manusia adalah tempat tinggal, umur, nama dan perbuatan seseorang.
    NAMA, KEWARGANEGARAAN DAN DOMISILI
    Kegunaan nama :
    - membedakan satu individu dengan individu lainnya
    - mengetahui hak dan kewajibannya - sebagai identifikasi seseorang sebagai subjek hukum
    - untuk mengetahui keturunan, asal usul seseorang
    - dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kekeluargaan dan pembagian harta warisan

    Kewarganegaraan dapat mempengaruhi kewenangan berhak seseorang, contoh : dalam pasal 21 (1) UUPA ? hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.

    Domisili / tempat tinggal adalah tempat dimana seseorang melakukan kegiatannya sehari-hari.

    Macam-macam domisili :
    A. tempat kediaman sesungguhnya, terbagi atas :
    - tempat kediaman bebas ? bebas memilih tenpa dipengaruhi pihak manapun.
    - tempat kediaman tidak bebas ? terikat oleh pihak lain, mis: rumah dinas.
    B. tempat kediaman yang dipilih, terbagi atas :
    - dipilih atas dasar ketetapan UU ? dalam hukum acara, waktu melakukan eksekusi dari vonis.
    - Dipilih secara bebas ? misal dalam waktu melakukan pembayaran, dipilih kantor notaris.

    KEWENANGAN BERHAK
    ? kewenangan untuk mendukung hak dan kewajiban keperdataan.
    Kewenangan berhak manusia ada sejak dia dilahirkan hidup ( jika dilahirkan meninggal, tidak ada kewenangan berhak ? pasal 2 BW ) sampai ia meninggal tanpa tergantung pada faktor agama, jenis kelamin, keadaan ekonomi, serta kedudukan dalam masyarakat. Sedangkan kewenangan berhak badan hukum diawali sejak berdiri dan diakhiri dengan dibubarkannya badan hukum tersebut.
    Yang membatasi kewenangan berhak manusia :
    ? Kewarganegaraan
    ? Tempat tinggal
    ? Kedudukan / jabatan
    ? Tingkah laku / perbuatan
    ? Jenis kelamin, hal tiada ditempat

    Kewarganegaraan
    Yang membatasi kewenangan berhak WNA di Indonesia:
    o Tarif pajak lebih tinggi
    o Tidak boleh berpolitik dan berideologi
    o Terbatas dalam kegiatan perseroan dan perkumpulan
    o Tidak boleh duduk dalam pemerintahan

    Tempat tinggal
    Contoh: seseorang yang berdomosili di kota Batam tidak dapat menjadi pemilih pada Pemilu walikota Tanjungpinang.
    Kedudukan / jabatan
    Contoh : hakim dan pejabat hukum tidak boleh memiliki barang-barang dalam perkara yang dilelang atas dasar keputusan pengadilan.
    Tingkah Laku / Perbuatan
    Contoh : kekuasaan orangtua / wali dapat dicabut oleh pengadilan jika orangtua/wali tersebut pemabuk, suka aniaya anak, dsb.
    Jenis Kelamin dan hal tiada ditempat
    Antara laki-laki dan wanita terdapat perbedaan hak dan kewajiban. Dikatakan hal tiada ditempat / keadaan tidak hadir apabila tidak ada kabar atau pemberitahuan untuk waktu yang cukup lama (5 tahun berturut-turut). Bisa disebabkan meninggal, tidak tahu asal usul, dsb.
    KECAKAPAN BERBUAT
    Orang yang cakap (wenang melakukan perbuatan hukum ) menurut UU adalah :
    1. orang yang dewasa ( diatas 18 tahun) atau pernah melangsungkan perkawinan
    2. tidak dibawah pengampuan, yaitu orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, pemboros, dll.
    3. tidak dilarang oleh UU, misal orang yang dinyatakan pailit oleh UU dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.
    Pendewasaan
    meniadakan keadaan belum dewasa kepada seseorang agar dapat melakukan perbuatan hukum.
    2 macam pendewasaan :
    a. penuh (sempurna), anak dibawah umur memperoleh kedudukan sama dengan orang dewasa dalam semua hal.
    b. terbatas, hanya disamakan dalam hal perbuatan hukum, namun tetap berada dibawah unmur.

    PENGAMPUAN
    Keadaan dimana seseorang tidak dapat mengendalikan emosinya, karena sifat-sifat pribadinya sehingga oleh hukum dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam hukum.

    1. Curandus adalah orang yang dibawah pengampuan
    2. Curator adalah orang yang ditunjuk sebagai wakil dari seorang curandus
    3. Curatele adalah lembaga pengampuan
    Pengampuan terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan, yang dapat diajukan oleh :
    1. Keluarga sedarah
    2. Keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat
    3. Suami terhadap istri dan sebaliknya
    4. Diri sendiri
    5. Kejaksaan
    Akibat pengampuan :
    o Orang tersebut kedudukannya sama dengan anak dibawah umur
    o Perbuatan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan ( dapat dimintakan pembatalannya oleh curator)

    o Pengampuan berakhir apabila keputusan hakim tersebut dicabut atau karena meninggalnya curandus
    BADAN HUKUM ( RECHTPERSOON)
    Dari beberapa pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa badan hukum itu :
    a. Adalah persekutuan orang-orang
    b. Dapat melakukan perbuatan hukum
    c. Mempunyai harta kekayaan sendiri
    d. Mempunyai pengurus
    e. Mempunyai hak dan kewajiban
    f. Dapat menggugat dan digugat di pengadilan
    Istilah badan hukum tidak ada dalam KUHPerdata, namun dalam Buku III KUHPerdata, terdapat istilah perkumpulan, yang terbentuk oleh adanya suatu perjanjian khusus. Perkumpulan itu dapat kita artikan dengan badan hukum.

    Syarat berdirinya badan hukum :
    A. Syarat Formal, yaitu syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status hukum
    B. Syarat Material :
    1. yang diminta oleh UU ( pasal 1653 KUHPerdata )
    2. menurut doktrin : adanya kekayaan yang terpisah, tujuan, kepentingan tersendiri dan organisasi yang teratur.

    Pembagian badan hukum
    Menurut Jenisnya :
    c. Badan Hukum Publik (negara, pemda, BI, Perusahaan Negara berdasarkan PP, dsb)
    d. Badan Hukum Perdata (PT, koperasi, parpol, yayasan, badan amal, wakaf, dsb)
    Menurut Sifatnya :
    e. Korporasi (gabungan orang yang mempunyai kewajiban yang berbeda dengan anggota lainnya)
    f. Yayasan (tiap kekayaan bukan merupakan kekayaan orang/badan dan diberi tujuan tertentu)

    Teori-Teori Badan Hukum
    1. Teori Fictie ( F.C. von Savigny; da Houwing; C.W. Opzoomer)
    2. Badan hukum merupakan orang buatan yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.
    3. Teori Harta Kekayaan (A. Brinz; E.J.J. van der Heyden)
    4. Hanya manusia yang bisa menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan yang terikat dengan tujuan tertentu yang dinamakan badan hukum.
    5. Teori Milik Bersama (Planiol; Molengraaff)
    6. Hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban para anggota bersama. Badan hukum hanya suatu konstruksi yuridis saja.
    7. Teori Kenyataan Yuridis (Mejers)
    8. Badan hukum merupakan suatu realiteit, konkrit, riil walaupun tidak bisa diraba. Mejers menekankan agar dalam mempersamakan badan hukum dengan manusis hanya pada bidang hukum saja.
    9. Teori Organ (Otto van Gierke; Mr. L.C. Polano)
    10. Badan hukum bukan abstrak dan bukan kekayaan yang tidak bersubjek, tetapi merupakan sesuatu yang riil yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada (pengurus & anggota) sama seperti manusia lainnya.
    Yang bertindak mewakili badan hukum adalah para pengurusnya yang penunjukkannya berdasarkan AD/ART dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

    CATATAN SIPIL
    suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk mencatat peristiwa-peristiwa yang menyangkut status keperdataan dan terbuka untuk umum.
    Macam-macam akta catatan sipil :
    Akta kelahiran ? mencatat peristiwa kelahiran seseorang.
    a. Akta Kelahiran Umum, mencatat berdasarkan waktu pelaporan kelahiran dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 hari kerja (WNI) dan 10 hari kerja (WNA).
    b. Akta Kelahiran Istimewa, mencatat kelahiran bagi laporan yang telah melampaui batas waktu.
    c. Akta Kelahiran Dispensasi, mencatat mereka yang lahir sebelum tanggal 31 Desember 1985.
    d. Akta Kematian ? mencatat peristiwa kematian seseorang.
    e. Akta Perkawinan ? mencatat peristiwa perkawinan.
    f. Akta Perceraian ? mencatat peristiwa perceraian.

    HUKUM PERKAWINAN
    Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan: suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membantuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhana Yang Maha Esa.
    Syarat dapat melangsungkan perkawinan menurut pasal 6 UUPP:
    Persetujuan kedua belah pihak
    Seseorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat persetujuan dari orangtua, jika orangtua sudah meninggal dapat meminta persetujuan dari wali/keluarga yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas.

    Azas-azas Perkawinan
    1. Tujuan Perkawinan membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga : membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak. Membentuk rumah tangga : membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama.

    2. Sahnya perkawinan jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, dan dicatat dalam catatan sipil.
    3. Azas Monogami seorang suami / istri hanya diperbolehkan memiliki satu orang istri / suami. Jika dikehendaki dan diizinkan oleh agamanya, maka seseorang suami dapat beristri lebih dari satu setelah memenuhi persyaratan yang diputuskan pengadilan.

    4. Prinsip Perkawanan kedua belah pihak sudah dewasa dan matang jiwa raganya. Perkawinan dilarang antara mereka yang mempunyai hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah.
    5. Mempersukar Terjadinya Perceraian karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka UU menganut prinsip ini mempersukar terjadinya perceraian.
    6. Hak dan Kedudukan Istri hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan suami baik dalam kehidupan rumah maupun masyarakat.
    Pencegahan Perkawinan
    Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat. Syarat dapat melangsungkan perkawinan :
    1. pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun
    2. terkena larangan perkawinan pasal 8 UUPP
    3. tidak terikat perkawinan dgn orang lain, apabila terikat, harus mendapat izin dari istri pertama dan diizinkan pengadilan untuk kawin lagi
    4. tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan yang telah diatur sendiri
      Pihak yang berhak mencegah perkawinan :
      a. keluarga dalam garis lurus keatas dan kebawah
      b. saudara
      c. wali
      d. wali nikah
      e. pengampu dari salah satu calon mempelai
      f. pihak-pihak yang berkepentingan

      Pembatalan Perkawinan
      Pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila salah satu pihak masih terikat perkawinan dengan orang lain dan apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
      Pihak yang dapat membatalkan perkawinan :
      a. keluarga dalam garis lurus keatas masing-masing pihak
      b. suami atau istri
      c. pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan

      Akibat Perkawinan
      Terhadap suami dan istri, harus:
      o Memikul kewajiban hukum, setia, hak dan kedudukan seimbang
      o Tinggal bersama
      o Suami melindungi keluarga
      o Hubungan mengikat / timbal balik

      Terhadap harta perkawinan:
      o Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing.
      o Harta perkawinan adalah benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dengan kata lain jika terjadi perceraian, harta perkawinan harus dibagi dua sepanjang tidak ditentukan lain

      Terhadap keturunan / kedudukan anak:
      a. Kekuasaan orangtua mulai sejak kelahiran anak dan berakhir ketika anak dewasa/menikah/dicabut oleh pengadilan.
      b. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak sekalipun kehilangan kekuasaan sebagai orangtua/wali.
      c. Anak menjadi ahli waris yang sah.

      Putusnya Perkawinan
      Putusnya perkawinan dapat disebabkan oleh :
      1. Kematian
      2. Perceraian
      3. Atas keputusan pengadilan
      Alasan mengajukan perceraian :
      a. setelah adanya perpisahan meja dan ranjang serta pernyataan bubarnya perkawinan
      b. alasan lain seperti berbuat zina, meninggalkan pihak lain tanpa alasan, melakukan KDRT, cacat badan / penyakit, tidak bisa menjalankan kewajiban, selalu terjadi pertengkaran dan perselisihan.

      Tata cara perceraian diatur dalam pasal 14-18 PP no 9/1975. Perceraian atas keputusan pengadilan terjadi karena adanya gugatan perceraian istri terhadap suami (cerai gugat)
      Perceraian diajukan suami ? cerai talaq
      Perceraian diajukan istri ? cerai gugat
      Proses perceraian
      1. Pemanggilan
      a. • dilakukan oleh jurusita PN atau petugas PA
      b. • dipanggil 3 hari sebelum sidang
      c. • Jika tidak jelas maka pemanggilan dilakukan dengan cara pengumuman baik melalui pengadilan, media massa maupun perwakilan RI di Luar Negeri.

      2. Persidangan 30 hari setelah gugatan diterima
      - Dapat hadir sendiri / didampingi kuasa haknya
      - Pemeriksaan dengan sidang tertutup
      - Gugatan dapat diterima tanpa kehadiran tergugat

      3. Perdamaian
      1. Dilakukan sebelum dan selama gugatan perceraian belum diputuskan hakim
      2. Perdamaian dapat dilakukan oleh pengadilan dengan/tanpa abntuan pihak lain seperti mediator
      3. Jika terjadi perdamaian maka gugatan baru tidak dapat diajukan lagi dengan alasan yang sama
      4. Putusan
      5. Disampaikan dalam sidang terbuka
      6. Perceraian beserta akibatnya berlaku sejak dilakukan pencatatan oleh petugas pencatat ( kecuali bagi Islam) terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

      Akibat Putusnya Perkawinan
      Terhadap anak dan istri:
      • Bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak atau sesuai dengan keputusan pengadilan
      • Mantan suami berkewajiban memberi biaya penghidupan kepada mantan istri
      • Hakim dapat menunjuk pihak ketiga bagi anak
      Terhadap harta perkawinan:
      • Harta bawaan tetap dibawah penguasaan masing-masing
      • Harta bersama diatur menurut hukum masing-masing, yaitu dibagi dua untuk suami dan istri


      Terhadap status keperdataan dan kebebasan
      • Keduanya tidak terikat lagi
      • Bebas melakukan perkawinan dengan pihak lain sepanjang tidak bertentangan dengan UU dan agama masing-masing. Bagi wanita untuk melakukan perkawinan lagi ada masa tunggu 3 bulan. Hal ini untuk memastikan apakah mantan istri sedang hamil atau tidak.
      Perkawinan campuran
      perkawinan yang dilakukan 2 orang yang berbeda kewarganegaraannya.
      Perkawinan campuran berakibat pada kewarganegaraan suami/istri dan keturunannya.

      HUKUM BENDA
      Keseluruhan aturan hukum yang mengatur mengenai benda, meliputi pengertian, macam-macam benda, dan hak-hak kebendaan.
      Hukum Benda bersifat tertutup dan memaksa.
      Tertutup adalah seseorang tidak boleh mengadakan hak kebendaan jika hak tersebut tidak diatur dalam UU
      Memaksa adalah harus dipatuhi dan dituruti, tidak boleh menyimpang.

      Macam-macam benda / barang
      1. Benda berwujud dan tidak berwujud. Arti penting pembagian ini adalah, bagi benda berwujud bergerak dilakukan dengan penyerahan langsung benda tersebut, bagi benda berwujud tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Contoh yang menggunakan balik nama : tanah, rumah dsb. Sedangkan bagi bend a tidak berwujud (seperti piutang) bisa dilakukan dengan cara cessie ataupun dengan cara penyerahan surat secara langsung.
      2. Benda bergerak dan tidak bergerak. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada penguasaan (bezit), penyerahan (levering), daluarsa (verjaring), serta pembebanan (berzwaring).
      a. Benda Bergerak Benda Tidak bergerak. Penguasaan Orang yang menguasai benda dianggap pemiliknya Orang yang menguasai benda belum tentu adalah pemiliknya
      b. Penyerahan Dilakukan dengan langsung Dilakukan dengan balik nama
      c. Daluarsa Tidak mengenal daluarsa Dikenal daluarsa
      d. Pembebanan Dengan penggadaian Dengan di hypotek, hak tanggungan

      3. Benda habis dipakai dan benda tidak habis dipakai. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada waktu pembatalan perjanjiannya. Jika dalam perjanjian objeknya adalah benda habis dipakai, apabila terjadi pembatalan perjanjian maka akan terjadi kesulitan untuk pemulihan objek tersebut karena telah terpakai. Maka adri itu, penyelesaiannya adalah dengan cara mengganti dengan benda yang sejenis dan senilai.
      4. Benda yang sudah ada dan yang akan ada. Arti pentingnya pembagian ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang atau pelaksanaan perjanjian. Sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian adalah adanya sepakat,cakap hukum, objek tertentu, dan halal. Jika objek yang dalam perjanjian itu adalah barang yang sudah ada, maka perjanjian sah-sah saja. Sebaliknya apabila ibjek yang di-perjanjikan adalah barang yang akan ada, maka perjanjian itu batal demi hukum.
      5. Benda dalam perdagangan dan benda di luar perdagangan. Arti pentingnya terletak pada cara pemindahtanganan. Benda dalam perdagangan dapat diperjualbelikan dan diwariskan secara bebas. Tetapi, jika benda di luar perdagangan tidak dapat diperjualbelikan ataupun diwariskan. Contoh benda di luar perdagangan : benda wakaf, narkotika, perdagangan wanita untuk pelacuran, dan lain sebagainya.
      6. Benda dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Arti pentingnya pembagian terletak pada pemenuhan prestasi suatu perikatan. Contoh benda dapat dibagi : beras, minyak, air, kertas, dll. Sedangkan contoh benda tidak dapat dibagi : binatang, manusia, mobil, rumah, kapal, dll. Suatu benda dikatakan tidak dapat dibagi karena akan berubah nama dan fungsinya.
      7. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Pada benda terdaftar, kepemilikan dapat dilacak dengan mudah sedangkan pada benda tidak terdaftar lebih sulit untuk pembuktian kepemilikan. Contoh benda terdaftar : rumah, mobil, kapal, motor, dll. Benda-benda tersebut ada surat kepemilikannya. Sedangkan contoh benda tidak terdaftar : uang, telepon, kursi, dll.

      BUKU KETIGA - PERIKATAN
      Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata "Perikatan" disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.
      Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian).
      1. Bab I - Tentang perikatan pada umumnya
      2. Bab II - Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan
      3. Bab III - Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang
      4. Bab IV - Tentang hapusnya perikatan
      5. Bab V - Tentang jual-beli
      6. Bab VI - Tentang tukar-menukar
      7. Bab VII - Tentang sewa-menyewa
      8. Bab VIIA - Tentang perjanjian kerja
      9. Bab VIII - Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata)
      10. Bab IX - Tentang badan hukum
      11. Bab X - Tentang penghibahan
      12. Bab XI - Tentang penitipan barang
      13. Bab XII - Tentang pinjam-pakai
      14. Bab XIII - Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening)
      15. Bab XIV - Tentang bunga tetap atau bunga abadi
      16. Bab XV - Tentang persetujuan untung-untungan
      17. Bab XVI - Tentang pemberian kuasa
      18. Bab XVII - Tentang penanggung
      19. Bab XVIII - Tentang perdamaian

      Buku Keempat – Pembuktian dan Kedaluwarsa
      Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluarsa. Hukum tentang pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :
      a. Surat-surat
      b. Kesaksian
      c. Persangkaan
      d. Pengakuan
      e. Sumpah
      Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai "pelepasan hak" atau "rechtsverwerking" yaitu hilangnya hak bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.
      a. Bab I - Tentang pembuktian pada umumnya
      b. Bab II - Tentang pembuktian dengan tulisan
      c. Bab III - Tentang pembuktian dengan saksi-saksi
      d. Bab IV - Tentang persangkaan
      e. Bab V - Tentang pengakuan
      f. Bab VI - Tentang sumpah di hadapan hakim
      g. Bab VII - Tentang kedaluwarsa pada umumnya

HUKUM PERIKATAN
2.1 Pengertian Dan Pembatasan Perikatan.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda "verbintenis". Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum( legal relation).

Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.perikatan yang terdapat dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:

a) Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b) Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.

c) Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d) Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
Perikatan Dalam arti Sempit.
Perikatan yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan.
Tetapi menurut sistematika ilmu pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi hukukm benda dan hukum perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda. Perikatan dalam bidang harta kekayaan ini disebut Perikatan dalam arti sempit.

Ukuran nilai
Perikatan dalam bidang hukum harta kekayaan ini selalu timbul karena perbuatan orang, apakah perbuatan itu menurut hukum atau melawan hukum. Objek perbuatan itu adalah harta kekayaan, baik berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak, benda berwujud atau benda tidak berwujud, yang semuanya itu selalu dapat dinilai dengan uang. Jadi ukuran untuk menentukan nilai atau harga kekayaan atau benda itu adalah uang. Dalam kehidupan modern ini uang merupakan ukuran yang utama.
Debitur Dan Kreditur
Perikatan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, mewajibkan pihak yang satu dengan yang lain, mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Pihak yang berkewajiban berprestasi itu biasa disebut debitur, sedangkan pihak yang berhak atas prestasi disebut kreditur.
Dalam suatu perikatan bisa terjadi bahwa satu pihak berhak atas suatu prestasi. Tetapi mungkin juga bahwa pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi itu, di samping kewajiban tersebut juga berhak atas suatu prestasi. Sebaliknya jika pihak lain itu disamping berhak atas suatu prestasi juga berkewajiban memenuhi suatu prestasi. Jadi kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban timbale balik.
Karena prestasi itu diukur dengan nilai sejumlah uang, maka pihak yang berkewajiban membayar sejumlah uang itu berkedudukan sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak meneriam sejumlah uang itu berkedudukan sebagai kreditur.
Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
Hapusnya Perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUHPdt, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:
a) Karena pembayaran
b) Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c) Karena adanya pembaharuan hutang
d) Karena percampuran hutang
e) Karena adanya pertemuan hutang
f) Karena adanya pembebasan hutang
g) Karena musnahnya barang yang terhutang
h) Karena kebatalan atau pembatalan
i) Karena berlakunya syarat batal
j) Karena lampau waktu
2.2 Pengertian Perjanjian.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt. Menurut ketentuan pasal ini, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih lainnya". Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a) Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya".
b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c) Pengertian perjanjian terlalu luas
d) Tanpa menyebut tujuan
e) Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
f) Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
1. syarat ada persetuuan kehendak
2. syarat kecakapan pihak- pihak
3. ada hal tertentu
4. ada kausa yang halal
Asas- asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas- asas tersebut adalah seperti diuraikan dibawah ini:
1) system terbuka (open system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Sering disebut asas kebebasan bertindak.
2) Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri.
3) Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak.
4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.
Jenis –jenis Perjanjian
1) Perjanjian timbale balik dan perjanjian sepihak, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajibannya kepada satu pihak dan hak kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalkan hibah.
2) Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani
3) Perjanjian bernama dan tidak bernama
4) Perjanjiankebendaan dan perjanjian obligatoir
5) Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Syarat- syarat sah Perjanjian
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut:
1) Ada persetujuan kehendak antara pihak- pihak yang membuat perjanjian (consensus)
2) Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
3) Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter)
4) Ada suatu sebab yang halal (legal cause)
Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPdt berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik,

Pelaksanaan Perjanjian
Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian
2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4) Media pembayaran yang digunakan
5) Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan Barang
Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:

1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak
3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Macam- macam Penyerahan Barang
Berdasarkan sifat barang yang akan diserahkan, ada tiga cara penyerahan barang yang dikenal dalam undang- undang:
1) Penyerahan barang bergerak berwujud
2) Penyerahan barang tidak bergerak
3) Penyerahan barang bergerak tidak berwujud
Biaya Penyerahan
Menurut ketentuan pasal 1476 KUHPdt, biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli, jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Ini berarti jika pihak- pihak tidak menentukan lain, berlakulah ketentuan pasal ini. Tetapi jika pihak- pihak menentukan cara tersendiri, maka ada beberapa kemungkinannya, misalnya:
1) Semua biaya penyerahan dan pengambilan dipikul oleh pembeli
2) Semua biaya penyerahan dan pengambilan dipikul oleh penjual
3) Semua biaya penyerahan dan pengambilan dipikul bersama- sama olehkedua belah pihak, baik secara dibagi, maupun secara perimbangan.
Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:
1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
Factor- factor yang mempengaruhi perjanjian
Beberapa perjanjian yang kelihatannya berlaku secara sempurna, tetapi mungkin seluruh atau sebagiannya tidak berdaya guna disebabkan oleh suatu cacat ketika perjanjian itu dibuat.
Factor- factor yang mempengaruhi itu adalah:
1) Kekeliruan atau kekhilafan
2) Perbuatan curang atau penipuan
3) Paksaan atau duress
4) Ketidakcakapan, seperti misalnya; orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di dalam pengampuan, dan orang peempuan bersuami.
Isi Perjanjian
Yang dimaksud isi perjanjian disini pada dasarnya adalah ketentuan- ketentuan dan syarat- syarat yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak. Ketentuan- ketentuan dan syarat- syarat ini berisi hak dan kewajiban pihak- pihak yang harus mereka penuhi. Dalam hal ini tercermin asas "kebebasan berkontrak", yaitu berapa jauh pihak- pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan –hubungan apa yang terjadi antara mereka itu, dan beberapa jauh hukum mengatur hubungan antara mereka itu.

Pembatalan Perjanjian
Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.
Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
2.3 Ketentuan- ketentuan Undang- Undang
Timbulnya perikatan dalam hal ini bukan dikarenakan karena adanya suatu persetujuan atupun perjanjian, melainkan dikarenakan karena adanya undang- undang yang menyatakan akibat perbuatan orang, lalu timbul perikatan. Perikatan yang timbul karena undang- undang ini ada dua sumbernya, yaitu perbuatan orang dan undang- undang sendiri. Perbuatan orang itu diklasifikasikanlagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum (pasal 1352 dan 1353 KUHPdt).
Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu wakil tanpa kuasa (zaakwarneeming) diatur dalam pasal 1354 sampai dengan pasal 1358 KUHPdt, pembayaran tanpa hutang (onverschuldigde betalling) diatur dalam pasal 1359 sampai dengan 1364 KUHPdt. Sedangkan perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) diatur dalam pasal 1365 sampai dengan 1380 KUHPdt.
Perbuatan melawan hukum dapat ditujukan kepada harta kekayaan orang laindan dapat ditujukan kepada diri pribadi orang lain, perbuatan mana mengakibatkankerugian pada orang lain. Dalam hukum anglo saxon, perbuatan melawan hukum disebut tort.
Untuk mengetahui apakah perbuatan hukum itu disebut wakil tanpa kuasa, maka perlu dilihat unsure- unsure yang terdapat didalamnya, unsure- unsure tersebut adalah :
1) Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
2) Tanpa mendapat kuasa (perintah), artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, atau kuasa dari pihak yang berkepentingan baik lisan maupun tulisan.
3) Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan sendiri.
4) Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya dikerjakan orang lain.
5) Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan perbuatan untuk kepentingan orang lain itu, ia harus mengerjakan sampai selesai, sehingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat menikmati manfatnya atau dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu.
6) Bertindak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbuatan mengurus kepentingan itu, harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum. Atau bertindak tidak bertentangan dengan undang- undang.
Hak dan kewajiban pihak- pihak
Karena perikatan ini timbul berdasarkan ketentuan undang- undang, maka hak dan kewajiban tersebut dapat diperinci sebagai tersebut di bawah ini :
1) Hak dan kewajiban yang mewakili, ia berkewajiban mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu sampai selesai, dengan memberikan pertanggungjawaban.
2) Hak dan kewajiban yang diwakili, yang diwakili atau yang berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti rugi, atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu.

Pembayaran Tanpa Hutang
Menurut ketentuan pasal 1359 KUHPdt, setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang, tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Ketentuan ini jelas memberikan kepastian bahwa orang yang memperoleh kekayaan tanpa hak itu seharusnya bersedia mengembalikan kekayaan yang telah diserahkan kepadanya karena kekeliruan atau salah perkiraan. Dikira ada hutang tetapi sebenarnya tidak ada hutang. Pembayaran yang dilakukan itu sifatnya sukarela, melainkan karena kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi kemudian ternyata bahwa perikatan yang dikira ada sebenarnya tidak ada. Dengan demikian ada kewajiban undang- undang bagi pihak yang menerima pembayaran itu yang mengembalikan pembayaran yang telah ia terima tanpa perikatan.

Perbuatan Melawan Hukum(onrechtmatige Daad)
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, kita lihat pasal 1365 KUHPdt yang berbunyi sebagai berikut :
" Tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa suatu perbuatan itu diketahui bahwa suatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum apabila ia memenuhi empat unsure sebagai berikut :
1) Perbuatan itu harus melawan hukum
2) Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian
3) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan
4) Antara perbuatan dan kerugian yang timbulharus ada hubungan kausal
Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Diri Pribadi
Perbuatan melawan hukum dapat ditujukan pada benda milik orang lain. Jika ditujukan pada diri pribadi orang lain. Jika ditujukan pada diri pribadi orang lain mungkin dapat menimbulkan kerugian pisik ataupun kerugian nama baik(martabat). Kerugian pisik atau jasmani misalnya luka, cedera, cacat tubuh. Perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pisik atau jasmani banyak diatur dalam perundangan- undangan di luar KUHPdt, misalnya undang- undang perburuhan.

apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu anggota badan dikarenakan kesengajaan atau kurang hati- hati pihak lain, undang- undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian biaya pengobatan, ganti kerugian atau luka atau cacat tersebut. Ganti kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, jadi dapat dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik seseorang. Lain daripada itu, yang terhina dapat menuntut supaya dalam putusan itu juga dinyatakan bahwa perbutan yang telah dilakukan itu adalah memfitnah. Dengan demikian, berlakulah ketentuan pasal 314 KUHP penuntutan perbuatan pidana memfitnah. Perkara memfitnah ini diperiksa dan diputus oleh hakim pidana(pasal 1373 KUHPdt).
Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Oleh Badan Hukum
Sering sekali orang mengatakan bahwa apakah badan hukum itu dapat melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Alasannya , karena badan hukum tidak dapat melakukan kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam lapangan hukum pidana, seperti halnya manusia pribadi. Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut, lebih dahulu perlu dikemukakan berbgai teori mengenai bdan hukum ada 3 macam yaitu:
1) Teori fictie(perumpamaan), menurut teori ini badan hukum itu diperumpamakan sebagai manusia, terpisah dari manusia yang menjadi pengurusnya. Atas dasar ini badan hukum tidak dibuat secara langsung, melainkan melalui perbuatan orang, yaitu pengurusnya. Dengan demikian berdasarkan teori fictie ini, badan hukum yang melakukan perbuatan hukum dapat digugat tidak melalui pasal 1365, melainkan melalui pasal 1367 KUHPdt. Jika mengikuti teori fictie ini kita dihadapkan pada keadaan yang bertentangan dengan kenyataan.
2) Teori orgaan (perlengkapan), menurut teori ini, badan hukum itu sama dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum.
3) Teori yurisdische realiteit, menurut teori ini, badan hukum adalah realitas yuridis yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi.
Badan Hukum Perdata dan Publik
Ada dua macam badan hukum dilihat dari sudut pembentukannya, yaitu badan hukum pidana dan badan hukum public. Badan hukum perdata dibentuk berdasarkan hukum perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan pleh pemerintah. Yang disahkan itu pada umumnya adalah anggaran dasar badan hukum itu. Pengesahan dilakukan dengan pendaftaran anggaran dasar kepada pejabat yang berwenang, pengesahan tersebut diperlukan supaya badan hukum yang dibentuk itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan tidak dilarang oleh undang- undang. Badan hukum perdata ini misalnya, perseroan terbatas, yayasan .koperasi.
Badan Hukum public dibentuk dengan undang- undang oleh pemerintah. Badan hukum public ini merupakan badan- badan kenegaraan, misalnya Negara republic Indonesia, daerah Tiongkok I, daerah tingkat II, dan lain- lain. Badan hukum public ini dibentuk untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara. Dalam menjalankan pemerintah Negara badan hukum public harus berdasarkan undang- undang. Jika dalam menjalankan tugasnya, badan hukum public itu melakukan perbuatan melawan hukum, ia dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPdt.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum public dalam menjalankan kekuasaannya itu mungkin merugikan orang lain dengan alasan menjalankan undang- undang. Maka dalam hal ini perlu dibedakan antara kebijaksanaan dan pelanggaran undang- undang. Dalam hal ini hakim yang akan menentukan. Namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan itu adalah kebijaksanaan penguasa(pemerintah), ini bukan lagi wewenang hakim, karena sudah masuk dalam bidang politik.

2.4 Komparasi Antara Perikatan yang timbul Karena Perjanjian dengan Perikatan yang Timbul Karena Undang- Undang
Sebagaimana telah diterangkan, suatu perikatan dapat lahir dari undang
undang atau dari perjanjian/ persetujuan. Yang dimaksud dengan perikatan yang lahir dari undang- undang saja ialah perikatan- perikatan yang timbul akibathubungan kekeluargan. Perikatan yang lahir dari undang- undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seseorang melakukan sesuatu.
Sedangkan perikatan yang terjadi karena persetujuan atau perjanjian kedua belah pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam- diam. Cara yang belakangan, sangat lazim dalam kehidupan sehari- hari.

Social Media

Blog Archive

Satya Abdhi Anggoro. Powered by Blogger.

Popular Posts